Thursday, August 27, 2009

JIRAN KITA MALAYSIA

Anas Urbaningrum

Malaysia kembali bikin geger. Tari Pendet, salah satu khasanah kultural Indonesia asal Bali, diklaim sebagai punya Malaysia. Jauh hari sebelumnya, negara tetangga kita ini juga mengaku lagu Rasa Sayange dan Reog Ponorogo (dan disebutnya Barongan) sebagai aset budayanya. Bahkan menjadi salah satu ikon pariwisata Malaysia yang serius berkampanye sebagai Truly Asia.

Tentu saja kasus Tari Pendet segera mengundang protes Pemerintah dan masyarakat Indonesia. Bahkan Presiden SBY ikut turun gunung. Kepada Malaysia SBY menegaskan pentingnya menghargai dan memperhatikan sensitifitas masyarakat Indonesia terhadap kasus-kasus klaim aset budaya.

Kalau kita perhatikan lebih jauh, ini sejatinya bukan sekadar soal Tari Pendet, lagu Rasa Sayange atau seni Reog Ponorogo. Ini terkait dengan sikap dasar Malaysia terhadap Indonesia. Karena itu, perkara ini terkait dengan lepasnya Sipadan dan Ligitan. Bartaut pula dengan perkara Ambalat. Juga dengan sikap umum majikan dan Pemerintah Malaysia kepada para TKI.

Ketika Dino Patti Djalal mengundang pertemuan dengan Khairy Jamaluddin, tokoh Pemuda UMNO yang juga menantu Abdullah Badawi, 27 November 2007 di Jakarta, saya sempat menyampaikan pentingnya semangat saling menghargai dan menghormati antara Indonesia dan Malaysia. Bukan saja dalam konteks hubungan antara Pemerintah dengan Pemerintah, tetapi juga pada level masyarakat.

Dengan telanjang saya menyebut contoh sebutan Indon kepada WNI, terutama TKI, di Malaysia amat pejoratif dan bermakna merendahkan. Itu mirip sebutan inlandeer kepada kaum pribumi pada masa kolonial Belanda. Sebagai bangsa serumpun, semangat saling mengangat, membantu dan menopang jauh lebih bermakna ketimbang saling merendahkan dan memelihara konflik.

Beberapa teman yang turut hadir, Anies Baswedan, Sandiaga Uno, Zulkieflimansyah, Noriyu, dan beberapa yang lain juga menyampaikan ide-ide yang intinya bersemangat agar Indonesia dan Malaysia benar-benar menjadi jiran yang sejati. Tetangga yang sesungguh-sungguhnya. Khairy Jamaluddin --sejauh dibaca dari yang disampaikan-- terkesan sangat terbuka dan menyambut baik gagasan-gagasan dalam diskusi kecil itu. Bahkan terhadap yang pedas dan sengak sekalipun.

Rupanya, sikap Khairy tersebut tidak representatif Malaysia. Jiran kita ini justru melanjutkan sikap usilnya. Kepongahan sebagai negara yang merasa lebih maju dan makmur telah menenggelamkan semangat bertetangga yang baik. Bahkan semangat serumpun tidak beranjak dari sekedar gincu pemanis hubungan saja.

Intinya sederhana. Malaysia cenderung melihat Indonesia secara remeh. Indonesia dipandang sebelah mata. Malaysia kurang menghargai Indonesia. Karena itu, kasus-kasus klaim aset budaya, kasus sikap terhadap TKI atau klaim atas Ambalat, adalah refleksi saja dari cara pandang itu. Malaysia merasa dalam posisi superior.

Saya termasuk yang kurang percaya bahwa Malaysia sengaja mengirim teroris untuk mengganggu masa depan Indonesia. Tetapi dengan rangkaian kasus dan juga cara pandang seperti itu, kita tidak perlu mematikan ruang kemungkinan “ekspor teroris” sebagai cara bertetangga yang tidak sejati.

Namun demikian, menyalahkan Malaysia saja tidak menolong kita. Perlu ikhtiar serius dari Indonesia sendiri agar kita makin menjadi negara yang bermartabat dan tidak disepelekan. Martabat kita ditentukan oleh kita sendiri. Bukan karena sikap negara lain. Karena itu, kita tidak perlu membalas dengan menyebarkan kebencian dengan “menggubah” Malaysia menjadi “Malingsia”. Wallahu a`lam

Wednesday, August 5, 2009

Menjegal Akal Sehat?

Anas Urbaningrum

Sejak lembaga-lembaga survei melansir hasil hitung cepat, sejatinya siapa yang menjadi Presiden dan Wakil Presiden 2009-2014 sudah terang. Namun demikian, berdasarkan ketentuan Undang-undang, hasil rekapitulasi penghitungan suara yang dilakukan berjenjang oleh KPU adalah hasil akhir, final dan absah yang harus ditunggu oleh semua pihak. Benar saja, hasil hitung resmi KPU tidak berselisih jauh dengan hasil hitung cepat. Bedanya tipis sekali.

Yang layak kita dalami adalah mengapa SBY-Boediono menang dengan angka yang mengesankan ? Jawaban yang gampang adalah karena rakyat kenal, suka, percaya dan kemudian memilihnya. Dalam perkara popularitas, rakyat kenal semua pasangan calon. Tetapi belum tentu suka, percaya dan memilihnya. Popularitas tidak selalu pararel dengan elektabilitas.

Rakyat memilih karena rakyat percaya kepada SBY-Boediono. Kepemimpinan SBY sepanjang 2004-2009 dinilai telah mendatangkan perubahan yang berfaedah dan sekaligus tetap memelihara harapan akan masa depan yang lebih baik. Jika rakyat tidak merasakan faedah selama 5 tahun terakhir, rakyat pasti akan meninggalkan SBY. Kalau rakyat tidak melihat adanya fajar harapan pada pasangan SBY-Boediono, pasangan alternatif pasti akan lebih dilirik sebagai wakil dari ekspektasi masa depan.

Yang menarik adalah kemajuan cara berpikir para pemilih. Issu-issu “lama” yang cenderung simbolik makin tergeser oleh cara pandang baru yang cerdas dan rasional. Issu suku, agama, asal daerah, keormasan, dan sejenisnya, tidak mampu mengimbangi issu-issu substantif tentang kepemimpinan : kejujuran, kepedulian dan kecakapan.

Kampanye contrasting antara Pasangan Nusantara dengan sindiran “pasangan pilkada” dijawab dengan baik oleh rakyat. SBY-Boediono hanya kalah di Bali, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo dan Maluku Utara. Di tiga daerah yang terakhir pun hanya kalah tipis. Issu pasangan Islam-Nasionalis atau Nasionalis-Islam tidak mendapatkan sambutan antusias dari para pemilih. Fitnah istri Boediono beragama Katholik juga tidak mampu menggoyahkan keyakinan pemilih. Rumor kontrak “politik syariah” tidak mempunyai dampak yang berarti. Dukungan terang-terangan dari para pemimpin ormas pun tidak diikuti oleh para warganya. Dhawuh para kyai juga makin mengecil setrumnya.

Beberapa contoh kecil tersebut adalah tanda kemajuan besar dalam demokrasi kita. Rakyat makin cerdas dan mandiri. Demos makin tercerahkan oleh dinamika wacana demokrasi dan kebebasan pasca reformasi. Para pemilih makin bisa mengkalkulasi pilihan politiknya. Kesadaran individu yang otonom makin tumbuh dan meninggalkan kesadaran komunal lama. Inilah kapital politik yang sangat kuat bagi pembangunan demokrasi kita ke depan.

Artinya, hasil pilpres 2009 adalah pantulan dari berkembangnya akal waras rakyat di dalam menentukan pilihan politik. Karena sifatnya yang mandiri dan berbasis kesadaran individual, maka pengaruh-pengaruh “lama” tidak lagi bisa diandalkan sebagai “penjaring” suara. Dan bagi yang percaya dengan ilmu dan akal sehat, gejala-gejala tersebut sesungguhnya sudah ditunjukkan oleh hasil-hasil survei, jauh-jauh hari sebelum pilpres digelar. Ilmu survei adalah kelanjutan dari bekerjanya akal. Dan survei yang kredibel bukan saja bisa memotret perkembangan rasionalitas politik pemilih, tetapi juga menolong banyak orang untuk menentukan pilihan yang kompatibel dengan akal sehat.

Inilah barangkali yang menjadi salah satu sisi dari ungkapan SBY tentang era politik akal sehat. Cara berpikir sederhana pun, asalkan tidak bengkok, bisa menjelaskan dan menerima realitas mengapa pemilu 2009 menghasilkan wajah politik seperti sekarang ini. Akal sehat juga bisa mencandra dan mencerna bagaimana proses pemungutan dan penghitungan suara berjalan sejak dari TPS-TPS sampai pada hasil rekapitulasi akhir di KPU. Ada kekurangan, tetapi tidak ada kecurangan yang disengaja. Apalagi untuk tujuan memenangkan pasangan calon tertentu.

Lantas, dari manakah asal gugatan adanya lebih dari 28 juta suara digelembungkan untuk pasangan SBY-Boediono? Dari mana pula statemen bahwa telah terjadi kecurangan secara masif dan sistematis? Belum lagi dengan permintaan untuk pilpres ulang. Agaknya, kita harus bekerja keras untuk membedakan pernyataan politik, kelakar atau kelanjutan dari kekecewaan yang tak tertanggung. Untuk menjaga mutu dan kehormatan urusan di MK, termasuk yang dinyatakan kepada publik, sebaiknya akal sehat dipertimbangkan dengan serius. Kecuali kita hanya ingin bergaduh dan berkelakar. Wallahu a`lam