Friday, October 16, 2009

Koalisi dan Demokrasi

Menjelang terbentuknya Kabinet Presiden SBY Jilid II, wacana koalisi makin berkembang jauh. Ide membangun koalisi pemerintahan yang kuat, efektif dan produktif, termasuk dengan basis dukungan yang besar dan permanen dinilai berbeda. Ada yang menilai sebagai konsekuensi dari sistem presidensial yang berlatar demokrasi multipartai. Tanpa dukungan koalisi yang besar, kuat dan permanen, harapan bagi terbangunnya pemerintahan yang makin efektif dan produktif akan menemui kendala di lapangan.

Sebaliknya, ada yang mengkritik bahwa koalisi yang besar akan menjadi ancaman bagi demokrasi. Pemerintah akan terlalu kuat. Oposisi makin ringkih dan kehilangan daya kontrol. Karena itu, kata pandangan ini, politik akan bergerak ke pendulum otoritarianisme. Dan ini akan membahayakan masa depan demokrasi. Pemerintah dibayangkan akan berjalan sendirian tanpa tandingan.

Mari kita periksa konteksnya secara jernih dan proporsional. Presiden terpilih SBY jelas telah mendapatkan mandat politik untuk memimpin Indonesia untuk periode kedua. Angka dukungannya lebih meyakinkan ketimbang hasil Pilpres 2004. Maknanya adalah harapan rakyat makin besar. Ekspektasi publik menanjak. Rakyat mengharapkan Pemerintah bekerja keras untuk menghasilkan kinerja terbaik yang bermanfaat nyata.

Pemerintahan yang mampu bekerja jelas membutuhkan dua prasyarat pokok. Pertama, kecakapan untuk menjalankan kewenangan. Kedua, ketenangan dan konsentrasi dalam menunaikan tugas. Kecakapan Pemerintah, salah satunya, bisa dijamin oleh proses rekruitmen kabinet yang baik. Dalam konteks ini, kita mempunyai dasar keyakinan yang cukup bahwa SBY akan memilih para pembantunya dengan cermat dan tepat. Sekarang, kesempatan untuk memilih yang terbaik jauh lebih terbuka ketimbang pada masa pembentukan KIB tahun 2004 silam.

Ketenangan dan konsentrasi Pemerintah untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik hanya bisa dijamin oleh koalisi politik yang kuat dan permanen. Tanpa koalisi yang kuat, ketenangan dan konsentrasi kerja Pemerintah bisa terganggu. Ketika politik bergolak, konsentrasi kerja Pemerintah akan berkurang. Kalau koalisi ringkih, rapuh dan “bergoyang-goyang”, jelas akan berkonsekuensi pada hilangnya ketenangan dan konsentrasi kerja.

Itulah konteks urgensi tentang koalisi politik pendukung Pemerintah. Koalisi bukan tujuan. Koalisi adalah sarana untuk menjamin peningkatan kinerja Pemerintah dan kebersamaan politik untuk mengurus bangsa dan negara. Kurang tepat jika menilai seakan-akan SBY bertujuan membangun koalisi kuat dan tanpa tanding. Mustinya lebih berani melihat sebagai komitmen SBY untuk membangun Pemerintahan yang makin kuat, efektif dan produktif bekerja demi kepentingan rakyat banyak. Dengan periode pertama yang baik dan diakui oleh rakyat, tentu opsi untuk periode kedua hanya satu. Berhasil dengan kualitas yang lebih bermakna. Sama sekali tidak ada opsi gagal.

Sebut saja ketika SBY membuka pintu bagi datangnya kekuatan baru dalam koalisi, semisal Golkar, maka mudah dipahami sebagai ikhtiar untuk membangun barisan politik Pemerintah agar makin kuat dan bertenaga. Bukan untuk menjinakkan. Bukan pula untuk menumpulkan kekuatan oposisi. Sebaliknya, juga karena Golkar mempunyai komitmen untuk memberikan kontribusi bagi pembangunan bangsa. Golkar pasti ingin mengoptimalkan energi dan sumberdayanya untuk turut menyukseskan pemerintahan dan pembangunan.

Karena itu, membayangkan koalisi besar dan kuat sebagai embrio kembalinya otoritarianisme atau pilihan yang membahayakan masa depan demokrasi adalah berlebih-lebihan. Kurang berdasar dan jauh dari kondisi faktual. Konfigurasi politik nasional tidak memungkinkan terjadinya pemusatan kekuasaan menjadi otoriter. Begitu pula dengan kesadaran jaman, kesadaran rakyat dan peran pers. Apalagi tidak ada selera non demokratik pada diri para pemimpin kita.

Jaman otoritarian sudah berlalu. Kita semua sudah lupa jalan untuk kembali ke masa silam itu. Menilai masa kini dan menatap masa depan adalah pilihan yang terbaik. Bukan malah menakut-nakuti diri kita dengan bayangan masa lalu yang tidak menjanjikan. Lebih baik kita turut memastikan bahwa KIB II dengan dukungan koalisi politik yang lebih kuat akan menghasilkan faedah yang nyata, terutama untuk menurunkan angka kemiskinan dan pengangguran. Wallahu a`lam