Wednesday, December 31, 2008

Hikmah Sejarah

Bung Karno pernah berpesan : Jasmerah. Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Masih terkait erat dengan pesan itu, ditegaskan juga bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghargai para pahlawannya. Sejarah jelas amat dekat dengan pahlawan. Roda sejarah digerakkan oleh keringat dan pengorbanan para pahlawan. Jumlah pahlawan terlalu banyak, meski yang biasa dikenal dan dicatat hanyalah “perwakilannya” saja.

Kita menjadi lega ketika Bung Tomo, tokoh besar pertempuran 10 Nopember, dianugerahi Pahlawan Nasional tahun ini. Sejarah heroik arek-arek Surabaya itu sudah lama diakui dan diajarkan dalam pelajaran sejarah, tetapi tokoh utamanya belum “diresmikan” statusnya sebagai pahlawan nasional, meski publik sudah lama menasbihkan Bung Tomo sebagai pahlawan. Mungkin pernah ada “halangan politik” atau “keteledoran administratif” dalam waktu yang cukup lama, karena mustinya sejak jaman Orde Baru urusan ini sudah layak diselesaikan. Alhamdulillah, kini semuanya telah terang-benderang.

Demikian halnya dengan M. Natsir, tokoh yang dikenal dengan Mosi Integralnya. Dalam waktu yang lama terkatung-katung statusnya sebagai tokoh yang layak digelari pahlawan nasional. Ketika tahun ini Natsir ditetapkan sebagai pahlawan nasional, yang lega tentu saja bukan hanya Keluarga Sang Mantan Perdana Menteri itu, tetapi juga Keluarga Besar Bulan Bintang, masyarakat Suamatera Barat dan bahkan kita bangsa Indonesia. Pekan silam Presiden SBY hadir di Indarung untuk syukuran penganugerahan gelar pahlawan nasional untuk tokoh Masyumi itu.

Belum lagi dengan pengakuan PDRI dalam episode penting perjalanan sejarah kita. Pemerintahan Darurat yang berpusat di Bukittinggi itu jelas tidak boleh kita lupakan. Eksistensinya telah berjasa menyambung tali sejarah keberadaan Pemerintah Republik Indonesia dan menjauhkan dari kekosongan kekuasaan. Karena itu, kita menghargai tinggi ketika Pemerintah menetapkan 19 Desember sebagai Hari Bela Negara, sebagai bentuk nyata pengakuan terhadap eksitensi PDRI.

Yang paling anyar adalah peresmian Monumen Gerilya Panglima Besar Soedirman di Pacitan. Setelah sekian lama “agak terlantar”, Pemerintah bergegas membangun kawasan wisata sejarah itu. Siapapun paham bahwa sejarah gerilya Panglima Soedirman amatlah berarti dan tidak bisa dipisahkan dari sejarah TNI dan sejarah bangsa. Kita pun tahu bahwa sebelumnya, SBY juga telah meresmikan museum AH Nasution, tokoh sejarah 65 yang tak terlupakan.

Beberapa catatan itu adalah fakta-fakta pelaksanaan komitmen untuk tidak melupakan sejarah. Bahkan lebih dari itu, realisasi dari kesadaran untuk menghormati para pahlawan dan menempatkan sejarah pada tempat yang terhormat. Ketika sejarah diletakkan pada tempatnya, dihormati dan dihargai, maka kita berkesempatan untuk memetik hikmahnya.

Hikmah sejarah sejatinya sederhana. Sejarah adalah cermin masa silam. Petik yang baik untuk dirawat dan diaktualisasikan. Kubur yang kurang baik untuk dijadikan pelajaran. Mikul dhuwur mendem jero. Dengan demikian sejarah akan menjadi bagian dari energi masa depan, dan bukan menjadi alas an untuk merawat dendam kesumat. Wallahu a`lam

NASIB GURU

Dua pekan silam saya bertemu dengan guru-guru, bahkan komandan para guru. Kami saling bercerita, berbagi dan berdiskusi tentang dunia pendidikan. Bukan di Jakarta, tetapi di Tulung Agung, Jawa Timur. Salah satu soal yang diperbincangkan tentu saja soal kesejahteraan guru, isu yang memang sentral dalam dunia pendidikan kita.

Meskipun jauh dari Jakarta, pandangan para guru amatlah tajam. Sebagai pelaku pendidikan, mereka mengerti dengan persis bagaimana sentralnya peran pendidikan bagi kemajuan bangsa. Bahwa bangsa-bangsa yang maju dan sejahtera, salah satu basis utamanya, adalah karena faktor pendidikan. Bangsa yang mengutamakan pendidikan bagi anak-anak bangsanya akan mempunyai turbin pemutar kemajuan. Mengapa? Karena pendidikan menghasilkan pengetahuan, kesadaran, pekerti dan daya hidup. Pendidikan menghasilkan mentalitas dan sikap budaya. Pendidikan menghasilkan semangat, komitmen dan optimism.

Sembari bersyukur, para guru tak lupa ngudarasa atau curhat tentang masa depan kesejahteraannya. Mereka bersyukur bahwa kebijakan Pemerintahan SBY makin peduli dengan bidang pendidikan, makin perhatian kepada nasib para guru. Gaji guru membaik, tunjangan profesi makin jelas, dan peningkatan anggaran pendidikan di APBN yang mencapai 20 persen adalah kemajuan yang nyata.

Curhat para guru adalah hal yang wajar. Misalnya, ada yang merasa tunjangan uang makan masih ada diskriminasi. Ada pula yang melihat bahwa syarat sertifikasi masih berat. Bahkan ada pula guru-guru swasta yang jam mengajarnya sukar untuk mengejar tunjangan profesi. Intinya, memang masih butuh perbaikan banyak hal ke depan.

Yang pokok adalah bagaimana komitmen Pemerintah terhadap dunia pendidikan, termasuk di dalamnya nasib dan kesejahteraan guru, makin baik dan nyata. Harus pula disadari bahwa perbaikan itu membutuhkan waktu dan proses. Jika komitmennya jelas, anggarannya meningkat, pengawasannya ketat, alokasinya tepat, fokusnya tajam, serta implementasinya didukung oleh jajaran Pemerintah Daerah, sangat terbuka peluang Indonesia untuk makin bergerak maju oleh (salah satunya) faktor pendidikan.

Guru yang setiap hari berpikir dan bekerja keras untuk mencerdaskan para muridnya, tidak seperti jaman dulu, hanya diberi kata-kata mutiara “pahlawan tanpa tanda jasa”, tetapi benar-benar makin diurus dan diperhatikan kesejahteraannya. Dengan demikian, para guru akan makin penuh konsentrasinya, makin keras dan serius mendidik, makin berkualitas kemampuannya, serta makin bertanggungjawab untuk melahirkan anak-anak bangsa yang cerdas dan berkomitmen.

Guru adalah pabrik kemajuan. Guru adalah industri masa depan. Guru adalah pemanggul tanggungjawab perputaran sejarah bangsa yang makin maju, berjaya dan bermartabat. Nasib dan kesejahteraan guru adalah salah satu kunci masa depan kita. Kebijakan dan komitmen Pemerintah yang sudah berjalan perlu diteruskan, dengan perbaikan dan penyempurnaan. Wallahu a`lam