Thursday, September 2, 2010

Anas: Bicara Pemakzulan SBY, Try Salah Musim

VIVAnews - Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum menyayangkan munculnya pernyataan mantan Wakil Presiden Try Sutrisno yang menyarankan supaya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dilengserkan sebelum msa jabatannya berakhir. Pernyataan itu dinilai Anas merupakan kemunduran.

"Para senior seharusnya berpikir konstruktif, arif dan bijak. Pengalamannya di masa lampau diorientasikan untuk perbaikan-perbaikan kehidupan kebangsaan ke depan," kata Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum kepada VIVAnews, Sabtu, 28 Agustus 2010.

Anas menilai dorongan pemakzulan itu tidak tepat. Selain itu, juga tidak memiliki urgensi dan argumentasi yang mapan.

"Bicara pemakzulan sekarang ini salah musim. Apalagi kalau dikaitkan dengan mimpi untuk kembali ke UUD 1945 sebelum amandemen. Sungguh kemunduran yang nyata," kata Anas.

Anas berpandangan bangsa ini harus berpikir ke depan dengan terus-menerus melakukan perbaikan, bukan justru berupaya kembali ke masa lalu yang terbukti sudah pernah gagal.

Usai bertemu Ketua MPR Taufiq Kiemas pada Rabu, 25 Agustus lalu, Jenderal TNI (purn) Try Sutrisno menyatakan risau karena melihat ada banyak pejabat yang memperkaya diri dan terjadinya kesenjangan sosial yang luar biasa. Untuk itu ia minta supaya MPR mendesak Presiden agar kembali ke UUD 1945 versi sebelum diamandemen.

"Jika tidak dilaksanakan, maka Presiden bisa dipanggil sampai dua kali. Dan jika juga tidak dilaksanakan, maka MPR bisa bersepakat untuk menggelar Sidang Istimewa MPR RI untuk melengserkan presiden," kata Try yang juga merupakan Ketua Forum Komunikasi Purnawirawan TNI dan Polri. (kd)

Jika Golkar Interpelasi, Ibarat Bertanya pada Diri Sendiri

Jakarta - Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie mengatakan pemerintah tidak perlu takut diinterpelasi. Sebab, interpelasi untuk menjelaskan masalah sesungguhnya. Pernyataan pria yang biasa dipanggil Ical tersebut dianggap mengganggu logika politik.

"Partai koalisi pemerintah lazimnya tidak bertanya kepada pemerintah. Itu sama dengan bertanya pada dirinya sendiri. Apalagi Ketua Partai Golkar adalah Ketua Harian Setgab," kata Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dalam pesan singkat yang diterima detikcom, Rabu (1/9/2010) dini hari.


Anas menjelaskan, jika ada partai koalisi pemerintah yang mengajukan interpelasi, publik dengan mudah akan bertanya: adakah udang di balik batu? "Soal hubungan Indonesia-Malaysia, meminta penjelasan Menko Polhukam dan Menlu di DPR adalah jalan terbaik," imbuh mantan Ketua Umum PB HMI tersebut.

Jika masih ada yang kurang dari penjelasan Menlu dan Menko Polhukam, sambung Anas, bisa diperdalam kembali. Selebihnya adalah mendorong percepatan solusi substantif dan mendasar, yakni segera menuntaskan perundingan batas laut Indonesia-Malaysia.

"berjiran (bertetangga) memang harus jelas batas teritorialnya," katanya.

Oleh karena itu, Anas merasa ragu jika Golkar akan mengajukan interpelasi. Bukan saja karena Golkar adalah partai koalisi pemerintah, tetapi juga karena Golkar tidak akan mau merusak rasionalitas politiknya.

"Bertanya pada diri sendiri agak mengganggu logika politik," sindir Anas.

(anw/anw)

Anas: Bicara Pemakzulan SBY, Try Salah Musim

Anas: Bicara Pemakzulan SBY, Try Salah Musim VIVAnews - Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum menyayangkan munculnya pernyataan mantan Wakil Presiden Try Sutrisno yang menyarankan supaya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dilengserkan sebelum msa jabatannya berakhir. Pernyataan itu dinilai Anas merupakan kemunduran. "Para senior seharusnya berpikir konstruktif, arif dan bijak. Pengalamannya di masa lampau diorientasikan untuk perbaikan-perbaikan kehidupan kebangsaan ke depan," kata Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum kepada VIVAnews, Sabtu, 28 Agustus 2010. Anas menilai dorongan pemakzulan itu tidak tepat. Selain itu, juga tidak memiliki urgensi dan argumentasi yang mapan. "Bicara pemakzulan sekarang ini salah musim. Apalagi kalau dikaitkan dengan mimpi untuk kembali ke UUD 1945 sebelum amandemen. Sungguh kemunduran yang nyata," kata Anas. Anas berpandangan bangsa ini harus berpikir ke depan dengan terus-menerus melakukan perbaikan, bukan justru berupaya kembali ke masa lalu yang terbukti sudah pernah gagal. Usai bertemu Ketua MPR Taufiq Kiemas pada Rabu, 25 Agustus lalu, Jenderal TNI (purn) Try Sutrisno menyatakan risau karena melihat ada banyak pejabat yang memperkaya diri dan terjadinya kesenjangan sosial yang luar biasa. Untuk itu ia minta supaya MPR mendesak Presiden agar kembali ke UUD 1945 versi sebelum diamandemen. "Jika tidak dilaksanakan, maka Presiden bisa dipanggil sampai dua kali. Dan jika juga tidak dilaksanakan, maka MPR bisa bersepakat untuk menggelar Sidang Istimewa MPR RI untuk melengserkan presiden," kata Try yang juga merupakan Ketua Forum Komunikasi Purnawirawan TNI dan Polri. (kd)

Jika Golkar Interpelasi, Ibarat Bertanya pada Diri Sendiri

Jakarta - Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie mengatakan pemerintah tidak perlu takut diinterpelasi. Sebab, interpelasi untuk menjelaskan masalah sesungguhnya. Pernyataan pria yang biasa dipanggil Ical tersebut dianggap mengganggu logika politik.

"Partai koalisi pemerintah lazimnya tidak bertanya kepada pemerintah. Itu sama dengan bertanya pada dirinya sendiri. Apalagi Ketua Partai Golkar adalah Ketua Harian Setgab," kata Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dalam pesan singkat yang diterima detikcom, Rabu (1/9/2010) dini hari.


Anas menjelaskan, jika ada partai koalisi pemerintah yang mengajukan interpelasi, publik dengan mudah akan bertanya: adakah udang di balik batu? "Soal hubungan Indonesia-Malaysia, meminta penjelasan Menko Polhukam dan Menlu di DPR adalah jalan terbaik," imbuh mantan Ketua Umum PB HMI tersebut.

Jika masih ada yang kurang dari penjelasan Menlu dan Menko Polhukam, sambung Anas, bisa diperdalam kembali. Selebihnya adalah mendorong percepatan solusi substantif dan mendasar, yakni segera menuntaskan perundingan batas laut Indonesia-Malaysia.

"berjiran (bertetangga) memang harus jelas batas teritorialnya," katanya.

Oleh karena itu, Anas merasa ragu jika Golkar akan mengajukan interpelasi. Bukan saja karena Golkar adalah partai koalisi pemerintah, tetapi juga karena Golkar tidak akan mau merusak rasionalitas politiknya.

"Bertanya pada diri sendiri agak mengganggu logika politik," sindir Anas.

(anw/anw)

Friday, August 27, 2010

Anas Urbaningrum: Membumikan Islam yang Sejuk

RAMADAN merupakan momentum yang tepat untuk merenungkan kembali keislaman kita. Islam di sini, setidaknya, dapat dibaca dalam dua pemaknaan: kepasrahan kepada Allah dan perdamaian.

Kepasrahan kepada Allah merupakan salah satu inti ajaran Islam. Sisi manusiawi dari pokok ajaran ini adalah kita tidak diperbolehkan sombong dan merasa berkuasa karena sejatinya semua nikmat yang kita miliki merupakan titipan, bahkan ujian dari Allah.

Perdamaian (dari kata salam, yang juga memiliki akar kata yang sama dengan Islam) merupakan pengejawantahan horizontal dari sikap kepasrahan tersebut. Dengan memahami bahwa yang mahakuasa hanyalah Allah, maka tugas umat Islam adalah menjaga perdamaian di muka bumi.


Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda: ''Kalian tidak akan masuk surga hingga beriman. Dan kalian tidak akan beriman hingga kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan suatu amalan yang jika kalian kerjakan, niscaya kalian akan saling mencintai: Tebarkanlah salam di antara kalian." (HR Muslim, Ahmad, Al Tirmidzi, dan Ibn Majah).

Kebebasan Anomik

Lalu, mengapa ada sekelompok orang Islam di Indonesia yang kerap melakukan kekerasan sebagai bentuk ekspresi keagaman mereka?

Fenomena Islam radikal di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari setting sosial-politiknya. Munculnya kelompok-kelompok tersebut berbarengan dengan transisi politik setelah tumbangnya rezim otoriter Orde Baru. Ahli politik Guillermo O'Donnell menjelaskan bahwa transisi demokrasi berjalan pada dua sisi, yaitu liberalisasi dan institusionalisasi. Liberalisasi mencakup pengakuan hak-hak politik individu dan kelompok serta diakuinya kebebasan berekspresi sebagai bagian dari tatanan demokratis. Kebebasan pers yang kita nikmati sekarang merupakan salah satu contohnya. Sementara itu, institusionalisasi merupakan proses penguatan institusi-institusi demokrasi. Menguatnya peran DPR, sebagai kontras dari DPR ''tukang stempel" pada era Orde Baru, dan berdirinya lembaga-lembaga ad hoc untuk mengatasi kelemahan lembaga yang ada, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, merupakan bagian dari proses institusionalisasi tersebut.

Seiring dengan perjalanan waktu, kita menyaksikan bahwa proses pada sumbu liberalisasi berjalan jauh lebih cepat daripada proses institusionalisasi. Ekspresi kebebasan individual telah mengguncang sendi-sendi kehidupan bersama, sementara institusi demokrasi belum bekerja secara efektif. Ekspresi keagamaan yang berwajah kekerasan tidak diimbangi dengan kuatnya institusi dan pranata sosial seperti penegakan hukum dan ketertiban. Bungkamnya Pemerintah Daerah Bekasi dalam kasus patung Tiga Mojang merupakan contoh nyata dari penjelasan ini.

Situasi kebebasan juga merupakan ujian bagi keimanan. Oleh karena itu, umat Islam harus menghayati bahwa keimanan yang hakiki adalah keimanan yang terjaga baik dalam situasi yang mempersulit keimanan, bukan hanya dalam situasi yang menunjang keimanan tersebut.

Perspektif lain untuk membaca fenomena Islam radikal adalah kebebasan yang datang bak air bah setelah reformasi menimbulkan situasi melemahnya norma-norma sosial yang menimbulkan keresahan, bahkan ketakutan, bagi individu. Situasi itu disebut anomi oleh sosiolog Emile Durkheim. Dalam situasi anomik, individu cenderung kembali kepada ikatan-ikatan primordial yang memberikan rasa aman, terutama etnisitas dan agama.

Kebebasan memang dapat menimbulkan rasa takut karena dalam kebebasanlah individu bertanggung jawab sepenuhnya atas tindakannya sendiri. Individu yang tidak mampu menangani kebebasan cenderung melarikan diri ke dalam ''payung" yang memberikan rasa aman dan perlindungan, seperti lembaga keagamaan. Ditambah faktor-faktor struktural seperti kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan sosial-ekonomi, organisasi keagamaan yang menjanjikan situasi yang kontras dengan situasi sekarang pun mendapat sambutan dari individu yang kalah tersebut. Dengan bergabung ke organisasi yang berwajah kekerasan, individu yang kalah itu merasa menang dan berkuasa, bahkan seolah melakukan ''balas dendam kelas."

Oleh karena itu, dalam konteks sosiologis-politis, mengembalikan tatanan sosial untuk menghentikan situasi anomik serta menyelesaikan problem struktural seperti kemiskinan merupakan cara untuk meminimalkan ekspresi keagamaan berwajah kekerasan.

Untuk mengatasi ekses modernitas yang berupa kondisi anomi, banyak yang berusaha memutar jarum jam kembali ke masa para sahabat dengan meniru secara literal kehidupan pada saat itu. Tentu, selama tidak melanggar hukum, setiap kelompok berhak memilih jalan hidup masing-masing. Namun, yang harus kita sadari, yang kita inginkan adalah bukan kembali ke cara hidup zaman yang sudah lewat, tetapi mempertahankan cita-cita Islam dan menghidupkan teladan secara kontekstual dari mereka yang sudah mendahului kita.

*) Anas Urbaningrum, Ketua Umum DPP Partai Demokrat

Thursday, August 26, 2010

Anas Urbaningrum: Membumikan Islam yang Sejuk

RAMADAN merupakan momentum yang tepat untuk merenungkan kembali keislaman kita. Islam di sini, setidaknya, dapat dibaca dalam dua pemaknaan: kepasrahan kepada Allah dan perdamaian.

Kepasrahan kepada Allah merupakan salah satu inti ajaran Islam. Sisi manusiawi dari pokok ajaran ini adalah kita tidak diperbolehkan sombong dan merasa berkuasa karena sejatinya semua nikmat yang kita miliki merupakan titipan, bahkan ujian dari Allah.

Perdamaian (dari kata salam, yang juga memiliki akar kata yang sama dengan Islam) merupakan pengejawantahan horizontal dari sikap kepasrahan tersebut. Dengan memahami bahwa yang mahakuasa hanyalah Allah, maka tugas umat Islam adalah menjaga perdamaian di muka bumi.


Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda: ''Kalian tidak akan masuk surga hingga beriman. Dan kalian tidak akan beriman hingga kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan suatu amalan yang jika kalian kerjakan, niscaya kalian akan saling mencintai: Tebarkanlah salam di antara kalian." (HR Muslim, Ahmad, Al Tirmidzi, dan Ibn Majah).

Kebebasan Anomik

Lalu, mengapa ada sekelompok orang Islam di Indonesia yang kerap melakukan kekerasan sebagai bentuk ekspresi keagaman mereka?

Fenomena Islam radikal di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari setting sosial-politiknya. Munculnya kelompok-kelompok tersebut berbarengan dengan transisi politik setelah tumbangnya rezim otoriter Orde Baru. Ahli politik Guillermo O'Donnell menjelaskan bahwa transisi demokrasi berjalan pada dua sisi, yaitu liberalisasi dan institusionalisasi. Liberalisasi mencakup pengakuan hak-hak politik individu dan kelompok serta diakuinya kebebasan berekspresi sebagai bagian dari tatanan demokratis. Kebebasan pers yang kita nikmati sekarang merupakan salah satu contohnya. Sementara itu, institusionalisasi merupakan proses penguatan institusi-institusi demokrasi. Menguatnya peran DPR, sebagai kontras dari DPR ''tukang stempel" pada era Orde Baru, dan berdirinya lembaga-lembaga ad hoc untuk mengatasi kelemahan lembaga yang ada, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, merupakan bagian dari proses institusionalisasi tersebut.

Seiring dengan perjalanan waktu, kita menyaksikan bahwa proses pada sumbu liberalisasi berjalan jauh lebih cepat daripada proses institusionalisasi. Ekspresi kebebasan individual telah mengguncang sendi-sendi kehidupan bersama, sementara institusi demokrasi belum bekerja secara efektif. Ekspresi keagamaan yang berwajah kekerasan tidak diimbangi dengan kuatnya institusi dan pranata sosial seperti penegakan hukum dan ketertiban. Bungkamnya Pemerintah Daerah Bekasi dalam kasus patung Tiga Mojang merupakan contoh nyata dari penjelasan ini.

Situasi kebebasan juga merupakan ujian bagi keimanan. Oleh karena itu, umat Islam harus menghayati bahwa keimanan yang hakiki adalah keimanan yang terjaga baik dalam situasi yang mempersulit keimanan, bukan hanya dalam situasi yang menunjang keimanan tersebut.

Perspektif lain untuk membaca fenomena Islam radikal adalah kebebasan yang datang bak air bah setelah reformasi menimbulkan situasi melemahnya norma-norma sosial yang menimbulkan keresahan, bahkan ketakutan, bagi individu. Situasi itu disebut anomi oleh sosiolog Emile Durkheim. Dalam situasi anomik, individu cenderung kembali kepada ikatan-ikatan primordial yang memberikan rasa aman, terutama etnisitas dan agama.

Kebebasan memang dapat menimbulkan rasa takut karena dalam kebebasanlah individu bertanggung jawab sepenuhnya atas tindakannya sendiri. Individu yang tidak mampu menangani kebebasan cenderung melarikan diri ke dalam ''payung" yang memberikan rasa aman dan perlindungan, seperti lembaga keagamaan. Ditambah faktor-faktor struktural seperti kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan sosial-ekonomi, organisasi keagamaan yang menjanjikan situasi yang kontras dengan situasi sekarang pun mendapat sambutan dari individu yang kalah tersebut. Dengan bergabung ke organisasi yang berwajah kekerasan, individu yang kalah itu merasa menang dan berkuasa, bahkan seolah melakukan ''balas dendam kelas."

Oleh karena itu, dalam konteks sosiologis-politis, mengembalikan tatanan sosial untuk menghentikan situasi anomik serta menyelesaikan problem struktural seperti kemiskinan merupakan cara untuk meminimalkan ekspresi keagamaan berwajah kekerasan.

Untuk mengatasi ekses modernitas yang berupa kondisi anomi, banyak yang berusaha memutar jarum jam kembali ke masa para sahabat dengan meniru secara literal kehidupan pada saat itu. Tentu, selama tidak melanggar hukum, setiap kelompok berhak memilih jalan hidup masing-masing. Namun, yang harus kita sadari, yang kita inginkan adalah bukan kembali ke cara hidup zaman yang sudah lewat, tetapi mempertahankan cita-cita Islam dan menghidupkan teladan secara kontekstual dari mereka yang sudah mendahului kita.

*) Anas Urbaningrum, Ketua Umum DPP Partai Demokrat

Monday, August 23, 2010

Anas dan Ibas Silaturahim ke Kalbar

Pontianak (ANTARA News) - Ketua Umum DPP Anas Urbaningrum dan Sekjend DPP Partai Demokrat Edi Baskoro Yudhoyono dan sejumlah pengurus pusat lainnya bersilaturahim dengan pengurus Partai Demokrat se-Kalimantan Barat di Sungai Raya, Kubu Raya, Senin sore.

Menurut Anas Urbaningrum, pertemuan tersebut adalah yang pertama kalinya dengan pengurus di Kalbar.

Ia optimistis, di Kalbar, Partai Demokrat akan berhasil di tahun-tahun mendatang mengingat pengurus mampu menjaga soliditas partai.


"Salah satu kunci adalah menjaga soliditas partai," kata dia.

Sejarah menunjukkan perpecahan selalu menghantui perjalanan partai politik di Indonesia.

Ia bersyukur Partai Demokrat di usia muda mampu utuh dan Kongres Nasional beberapa waktu lalu membuat mereka tetap utuh dan makin solid.

"Ini jadi modal dasar yang baik dan kita punya alasan untuk bekerja dengan penuh konsentrasi di masa mendatang," katanya.

Ia yakin pengurus Partai Demokrat tidak jadi partai musiman. Musim pertama, menjadi fenomena politik dalam Pemilu 2004.

"Yang betul-betul baru Partai Demokrat, yang kekuatan politik 7,5 persen bisa mengantarkan kader terbaik Pak SBY sebagai Presiden," kata Anas Urbaningrum.

Musim kedua, raihan suara Partai Demokrat pada Pemilu 2009 yakni mencapai hampir 21 persen. Sementara peserta Pemilu 2009 lebih banyak dibanding 2004 sehingga memberi bukti fenomenal lainnya.

"Meski ada pertanyaan mengenai keberhasilan Demokrat, dikaitkan dengan Century. Ini pikiran orang `ngeres`," katanya.

Hasil tersebut menunjukkan harapan besar rakyat terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk melanjutkan kedua kalinya.

Selain itu, menjadi wujud selera rakyat. Ia memperkirakan angka yang diperoleh lebih tinggi dari capaian tersebut kalau tidak ada kelemahan dalam realisasi penyelenggaraan.

Pelaksana tugas Ketua DPD Partai Demokrat Kalbar Muda Mahendrawan mengatakan, pencapaian dalam berbagai pemilu di Kalbar menunjukkan hasil yang menggembirakan.

Ia berharap hasil tersebut dapat dipertahankan dan ditingkatkan di tahun-tahun berikutnya.