Thursday, August 26, 2010

Anas Urbaningrum: Membumikan Islam yang Sejuk

RAMADAN merupakan momentum yang tepat untuk merenungkan kembali keislaman kita. Islam di sini, setidaknya, dapat dibaca dalam dua pemaknaan: kepasrahan kepada Allah dan perdamaian.

Kepasrahan kepada Allah merupakan salah satu inti ajaran Islam. Sisi manusiawi dari pokok ajaran ini adalah kita tidak diperbolehkan sombong dan merasa berkuasa karena sejatinya semua nikmat yang kita miliki merupakan titipan, bahkan ujian dari Allah.

Perdamaian (dari kata salam, yang juga memiliki akar kata yang sama dengan Islam) merupakan pengejawantahan horizontal dari sikap kepasrahan tersebut. Dengan memahami bahwa yang mahakuasa hanyalah Allah, maka tugas umat Islam adalah menjaga perdamaian di muka bumi.


Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda: ''Kalian tidak akan masuk surga hingga beriman. Dan kalian tidak akan beriman hingga kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan suatu amalan yang jika kalian kerjakan, niscaya kalian akan saling mencintai: Tebarkanlah salam di antara kalian." (HR Muslim, Ahmad, Al Tirmidzi, dan Ibn Majah).

Kebebasan Anomik

Lalu, mengapa ada sekelompok orang Islam di Indonesia yang kerap melakukan kekerasan sebagai bentuk ekspresi keagaman mereka?

Fenomena Islam radikal di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari setting sosial-politiknya. Munculnya kelompok-kelompok tersebut berbarengan dengan transisi politik setelah tumbangnya rezim otoriter Orde Baru. Ahli politik Guillermo O'Donnell menjelaskan bahwa transisi demokrasi berjalan pada dua sisi, yaitu liberalisasi dan institusionalisasi. Liberalisasi mencakup pengakuan hak-hak politik individu dan kelompok serta diakuinya kebebasan berekspresi sebagai bagian dari tatanan demokratis. Kebebasan pers yang kita nikmati sekarang merupakan salah satu contohnya. Sementara itu, institusionalisasi merupakan proses penguatan institusi-institusi demokrasi. Menguatnya peran DPR, sebagai kontras dari DPR ''tukang stempel" pada era Orde Baru, dan berdirinya lembaga-lembaga ad hoc untuk mengatasi kelemahan lembaga yang ada, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, merupakan bagian dari proses institusionalisasi tersebut.

Seiring dengan perjalanan waktu, kita menyaksikan bahwa proses pada sumbu liberalisasi berjalan jauh lebih cepat daripada proses institusionalisasi. Ekspresi kebebasan individual telah mengguncang sendi-sendi kehidupan bersama, sementara institusi demokrasi belum bekerja secara efektif. Ekspresi keagamaan yang berwajah kekerasan tidak diimbangi dengan kuatnya institusi dan pranata sosial seperti penegakan hukum dan ketertiban. Bungkamnya Pemerintah Daerah Bekasi dalam kasus patung Tiga Mojang merupakan contoh nyata dari penjelasan ini.

Situasi kebebasan juga merupakan ujian bagi keimanan. Oleh karena itu, umat Islam harus menghayati bahwa keimanan yang hakiki adalah keimanan yang terjaga baik dalam situasi yang mempersulit keimanan, bukan hanya dalam situasi yang menunjang keimanan tersebut.

Perspektif lain untuk membaca fenomena Islam radikal adalah kebebasan yang datang bak air bah setelah reformasi menimbulkan situasi melemahnya norma-norma sosial yang menimbulkan keresahan, bahkan ketakutan, bagi individu. Situasi itu disebut anomi oleh sosiolog Emile Durkheim. Dalam situasi anomik, individu cenderung kembali kepada ikatan-ikatan primordial yang memberikan rasa aman, terutama etnisitas dan agama.

Kebebasan memang dapat menimbulkan rasa takut karena dalam kebebasanlah individu bertanggung jawab sepenuhnya atas tindakannya sendiri. Individu yang tidak mampu menangani kebebasan cenderung melarikan diri ke dalam ''payung" yang memberikan rasa aman dan perlindungan, seperti lembaga keagamaan. Ditambah faktor-faktor struktural seperti kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan sosial-ekonomi, organisasi keagamaan yang menjanjikan situasi yang kontras dengan situasi sekarang pun mendapat sambutan dari individu yang kalah tersebut. Dengan bergabung ke organisasi yang berwajah kekerasan, individu yang kalah itu merasa menang dan berkuasa, bahkan seolah melakukan ''balas dendam kelas."

Oleh karena itu, dalam konteks sosiologis-politis, mengembalikan tatanan sosial untuk menghentikan situasi anomik serta menyelesaikan problem struktural seperti kemiskinan merupakan cara untuk meminimalkan ekspresi keagamaan berwajah kekerasan.

Untuk mengatasi ekses modernitas yang berupa kondisi anomi, banyak yang berusaha memutar jarum jam kembali ke masa para sahabat dengan meniru secara literal kehidupan pada saat itu. Tentu, selama tidak melanggar hukum, setiap kelompok berhak memilih jalan hidup masing-masing. Namun, yang harus kita sadari, yang kita inginkan adalah bukan kembali ke cara hidup zaman yang sudah lewat, tetapi mempertahankan cita-cita Islam dan menghidupkan teladan secara kontekstual dari mereka yang sudah mendahului kita.

*) Anas Urbaningrum, Ketua Umum DPP Partai Demokrat

No comments: