Sunday, March 29, 2009

Koalisi dan Team of Rivals

Jika politik adalah panggung, maka panggung politik Indonesia adalah salah satu yang paling menarik dan menjanjikandi. Jika di belahan negeri lain, politik sering berujung kepada darah dan senapan, tetapi di Indonesia, sebagai negara baru demokrasi, politik telah dan sedang diupayakan untuk dilewati dengan persaingan damai dan tanpa kekerasan. Jika di belahan bumi lain, elite partai saling menyerang jelang pemungutan suara, di Indonesia, elite partai saling kunjung dan menjajagi bangunan koalisi. Bukan berarti saling kritik dan serang tidak ada. Tetapi berlangsung dalam tataran yang wajar dan tanpa kekerasan. Inilah barangkali gaya politik ’khas’ nusantara. Yang tak mungkin di negeri lain, bisa terjadi di tanah air. Sesuatu yang patut dicermati.

Oleh karenanya, penting kiranya memperhatikan panggung-panggung politik di negeri lain. Sebagai renungan sekaligus pembelajaran. Tentu saja, negeri lain memiliki sistem, gaya dan karakter politik tersendiri. Tak bisa dijadikan contoh atau model sempurna untuk diterapkan di Indonesia. Tetapi, bukankah mengambil hikmah dari setiap peristiwa merupakan satu kebaikan.

Beberapa Preseden Koalisi

Di Israel, negeri dimana negeri kita tak memiliki hubungan diplomatik dengannya, panggung politiknya menarik untuk disimak. Bukan saja karena tingkah negeri ini yang sering membuat pusing para tetangganya dan bahkan warga dunia, tetapi juga karena kompetisi politik di tingkat domestik yang unik. Dalam sistem Israel yang parlementarian, ada lebih dari lima partai bersaing memperebutkan 120 kursi. Dua kandidat yang diduga bersaing ketat meraih kursi PM Israel adalah Tzipi Livni dari Kadima Party dan Benjamin Netanyahu alias Bibi dari Likud Party.

Keduanya saling menyerang dengan kata-kata menjelang hari pemungutan suara, hingga tiada waktu saling kunjung untuk penjajakan koalisi. Pertemuan baru dilakukan ketika hasil suara usai dihitung: 28 kursi untuk partai Livni dan 27 kursi untuk partai Bibi. Partai lain membuntuti dari belakang, Yisrael Beitinu (15), Buruh (13) dan Shas (11) serta tujuh partai lain dengan perolehan kursi masing-masing dibawah angka 10.

Hasil ini menunjukkan kewajiban beberapa partai untuk membangun koalisi pemerintahan. Uniknya, pemerintahan Israel hasil pemilu 2009 belum terbentuk. Sampai sekarang PM lama, Ehud Olmert masih menjalankan tugas sampai PM baru terpilih. Semua elite politik berkejaran dengan batas waktu. Meski demikian, satu pelajaran penting disimak dan hampir pasti terjadi. Beberapa rival atau lawan politik dalam pemilu, akan sangat mungkin menjadi mitra koalisi usai pemilu digelar. Sehingga, permusuhan politik terendapkan oleh realitas politik. Itulah Israel : ganas keluar, seru di dalam.

Mari kita melompat ke Turki. Negeri ini menganut sistem multipartai yang parlementarian dengan 550 kursi diperebutkan pada pemilu terakhir. Jika tak ada satu partai pun meraih separuh kursi parlemen maka koalisi adalah kepastian. Uniknya, Recep Tayyip Erdogan dari Adalet ve Kalkınma Partisi atau AK Parti mampu meraih separuh kursi parlemen, yakni 341 kursi, sehingga tak membutuhkan koalisi dan membawanya ke kursi Perdana Menteri. Erdogan s memerintah Turki hingga kini.

Tetapi, dalam pemilu-pemilu sebelumnya, panggung politik negeri Ottoman ini tak bisa menghindar diri dari koalisi untuk membangun pemerintahan. Tentu saja, penjajakan koalisi yang serius dilakukan oleh elite partai Turki seusai hasil pemilu digelar. Adapun kesimpulan koalisi adalah sama dengan di Israel: ”Rivals dahulu, mitra kemudian”.

Kita tengok panggung politik Amerika Serikat. Meski tak menganut parlementarian dan hanya mengenal dua partai kuat di tingkat nasional, plus menganut presidensial, tetapi model berpolitiknya tetap perlu diperhatikan. Calon presiden yang diajukan harus melewati kompetisi dan konvensi yang panjang dan melelahkan. Calon-calon dari Partai demokrat misalnya, seperti Barack Obama, Hillary Clinton, John Edward, Joe Biden, dan Bill Richardson bersaing ketat dan saling kritik dengan keras ketika bersaing memperebutkan separuh jumlah delegasi yang akan hadir pada Konvensi Demokrat.

Kalau kita perhatikan, di sela-sela persaingan politik antar pada kandidat tersebut, tak pernah ada perbincangan soal koalisi. Penjajakan koalisi baru ada setelah hasil raihan delegasi mulai tampak terang. Tim setiap kandidat dan kandidat yang masih bertahan mendekati kandidat lain yang ’melempar handuk putih’ terlebih dulu. Hingga di akhir putaran, hanya dua kandidat yang tersisa: Obama dan Hillary.

Uniknya, meski keduanya bersaing habis-habisan, saling senggol satu sama lain dari policy sampai urusan personal, sehingga muncul kesan tak bisa lagi berdamai secara personal maupun politik, realitas politik kemudian, menunjukan potret yang sama sekali berbeda. Joe Biden justru menjadi cawapres-nya Obama. Hillary Clinton menjadi jurkam Obama yang sangat berkeringat, dan bahkan kini menjadi “the face and voice of the US foreign policy”. Banyak anggota Tim Sukses dari pesaing Obama direkrut kembali dalam pemerintahannya. Kompetisi usai, kerjasama dimulai. Tetapi, koalisi baru dibangun setelah kompetisi internal Demokrat usai dan Obama dinyatakan sebagai pemenang untuk menghadapi McCain - Republikan. Lagi-lagi, koalisi menjadi sisi tak terhindarkan dari bangunan-bangunan politik dan pemerintahan.

Satu catatan tambahan yang memudahkan ”koalisi internal” Partai Demokrat adalah kematangan dan kedewasaan berpolitik dari para aktornya. Bahwa kompetisi politik, sekeras apapun, tidak pernah masuk ke wilayah permusuhan pribadi. Ada batas yang jelas antara kepentingan pribadi kandidat, kepentingan partai dan kepentingan negara. Semuanya batasnya menjadi terang oleh kedewasaan politik. Tidak ada kamus dendam kesumat atas nama hal-hal yang tidak jelas dan kekanak-kanakan. Salah satu simbol yang kedewasaan yang paling sederhana adalah keberanian dan kemampuan untuk memberikan ucapan selamat kepada pemenang, baik pemenang konvensi maupun pemenang pilpres.


Bagaimana Koalisi Pilpres Kita 2009?

Di tanah air, koalisi dan rivalitas politik berjalan secara khas, unik dan menarik. Perbincangan koalisi pemerintahan di lakukan jauh-jauh hari sebelum pemilu digelar. Partai-partai berkomunikasi, memasang satu kuda-kuda kerjasama dan menjajaki janji. Sementara, kuda-kuda yang lain disiapkan untuk bertanding. Elite setiap partai saling kunjung, komunikasi dan silaturrahmi, dan tentu saja menjajaki selera politik partai yang lain.

Meski hasil pemilu belum terang benar, kehendak berkoalisi telah lahir. Tentu saja, ia tidak bisa kita sebut sebagai mubazir. Manfaat selalu ada tergantung tafsir yang kita bangun. Paling tidak, komunikasi politik politik awal yang mudah diartikan sebagai preparasi koalisi. Ada kesepakatan untuk menjaga agar proses pemilu berjalan baik dan lancar. Ada kehendak dan komitmen bersama untuk merawat dan mengembangkan demokrasi, sehingga semakin matang dan produktif untuk kepentingan rakyat.

Tak ada yang salah dengan semua langkah politik tersebut. Perbincangan atau penjajakan koalisi sebelum adalah langkah yang tepat dan produktif. Tidak ada koalisi tanpa didahului dengan komunikasi dan pendekatan. Tidak ada koalisi bagi yang putus komunikasinya. Tidak ada koalisi yang berangkat dari saling membelakangi.

Namun demikian, koalisi baru akan didiskusikan secara serius usai pemungutan suara, ketika perolehan suara masing-masing partai sudah terang. Jika Partai Demokrat belakangan cukup rajin melakukan silaturrahmi dengan partai-partai lain, tentu tidak lepas dari jalan pikiran ini. Semuanya adalah dalam rangka tetap menghormati dan merawat komunikasi dengan partai lain.

Di Indonesia pun mulai jelas bahwa politik berbeda dengan matematika. Berbagai kemungkinan masih sangat terbuka. Buku koalisi pilpres 2009 belum tertutup. Bahkan masih akan ditulis dengan tinta yang jelas setelah hasil pemilu legislatif diketahui. Bukankah rival dulu dalam panggung politik, sangat terbuka menjadi mitra kemudian dan sebaliknya? Atau mitra politik sangat mungkin tetap menjadi mitra kembali?.***

No comments: