Sunday, June 21, 2009

Damai Dan Masa Depan Aceh

Anas Urbaningrum

Setelah perjanjian damai di Aceh, ini kali kedua saya menginjakkan kaki di bumi Serambi Mekah. Belum sepekan Capres JK berkampanye di Aceh. Inti dari kampanyenya adalah bahwa yang paling berjasa atas damai di Aceh adalah dirinya. Bukan Presiden dan bukan orang lain. Dirinyalah sentral dari kerja perdamaian untuk Aceh. Saya juga mendapati iklan pasangan JK-Wiranto di Koran lokal yang salah satu isinya adalah penegasan atas pernyataan JK tersebut.

Saya mencoba mengetes pasar. Pakai cara acak saja. Di sebuah warung khas Aceh, di lift hotel, di pinggir jalan, saya tanyakan komentar mereka atas klaim JK tersebut. Jawabannya beragam. Ada yang bilang : tidak tahu, tidak peduli, memang JK berperan, itu jelas perintah Presiden, yang penting Aceh damai, dan apa pula yang bilang : Lanjutkan! Amat beragam pandangan publik di Aceh tentang pernyataan JK yang memang dimaksudkan untuk mengail kredit tertinggi dari damai di Aceh.

Rupanya publik tahu bahwa tidak ada aktor tunggal dalam perdamaian di Aceh. Ada faktor kepemimpinan SBY sebagai Presiden yang bukan saja percaya pada cara perundingan, tetapi komitmennya amat terang untuk menyelesaikan konflik di Aceh dengan jalan damai. Ada peran JK sebagai Wakil Presiden yang penting dalam perundingan dan negosiasi. Ada peran juru runding yang bekerja keras : Hamid Awaludin, Farid Husain dan Sofyan Djalil, beserta seluruh tim. Ada peran sikap TNI yang sepenuhnya mendukung perundingan damai, atas payung dan arahan politik dari Presiden sebagai Panglima Tertinggi (Pangti) TNI. Dan ini berbeda dengan sikap TNI ketika masa kegagalan Cessantion of Hostilities Agreement (COHA) yang tampak masih suka dengan pendekatan “gebuk” dan “sikat”.

Selain itu, ada pula peran dukungan DPR, dukungan seluruh rakyat Indonesia, dan tentu saja dukungan, doa dan harapan dari seluruh publik di Aceh yang sudah lelah dengan hilangnya nyawa, mengalirnya darah dan air mata. Peran Martti Ahtisaari dari Crisis Management Initiative (CMI) juga tidak boleh dilupakan. Bahkan Ahtisaari belakangan mendapatkan hadiah Nobel. Di atas segalanya adalah berkah, rahmat dan tuntunan dari Tuhan Yang Maha Damai dan Mendamaikan. Tsunami 26 Desember 2004 seakan menjadi tanda dari Tuhan yang ingin menyapu semua sejarah permusuhan, konflik dan pertumpahan darah di bumi Serambi Mekah.

Jadi, tidak ada aktor tunggal dalam perdamaian di Aceh. Banyak pihak telah memainkan sejarah yang penting dalam ikhtiar perdamaian di Tanah Rencong ini. Semuanya adalah “aktor utama” dengan peran dan kontribusinya sendiri-sendiri. Klaim aktor tunggal, atau hampir tunggal, adalah sikap yang bukan saja berlebih-lebihan, tetapi bahkan hampir-hampir tidak bisa dibedakan dengan kesombongan.

Satu perkara lagi yang tidak boleh dilupakan. Ia adalah trust (kepercayaan). Bahwa GAM sangat percaya dengan niat baik dan keseriusan untuk menempuh jalan damai yang ditawarkan oleh Pemerintahan SBY. Tentu saja GAM telah mempelajari rekam jejak SBY atas upaya perdamaian di Aceh sejak menjadi Menkopolkam. Sebaliknya, SBY dan jajarannnya juga percaya dengan kemauan GAM untuk menyudahi kekerasan dan pertumpahan darah, meskipun tidak sedikit pihak yang mengingatkan SBY untuk tidak percaya begitu kepada niat baik GAM.

Sejarah kelam kita kubur. Sejarah baik kita kenang. Yang paling penting sekarang adalah bagaimana damai di Aceh menjadi modal dasar bagi ikhtiar untuk memajukan daerah dan memakmurkan rakyat. Damai sebagai sejarah indah di Aceh harus dijadikan batu lompatan yang kokoh untuk menciptakan perdamaian yang berkualitas, sejati dan abadi. Caranya adalah dengan membangun Aceh sebagai bagian dari NKRI, dengan kecepatan yang lebih tinggi, untuk mengejar ketertinggalan akibat konflik puluhan tahun. Itu jelas sudah dimulai pada jaman Pemerintahan SBY. Tentu saja masih ada kekurangan di sana-sini. Karena itu, tinggal dilanjutkan dan disempurnakan. Wallahu a’lam

No comments: