Thursday, May 28, 2009

Maaf, Tidak Ada Diskon!

Anas Urbaningrum

Untuk kedua kalinya, Presiden dan Wakil Presiden berkompetisi sebagai sesama calon Presiden. Pada pilpres 2004, Presiden Megawati berkompetisi dengan --salah satunya-- Wakil Presiden Hamzah Haz. Megawati sebagai incumbent maju berpasangan dengan cawapres baru, Hasyim Muzadi. Sedangkan Hamzah Haz yang “tidak diajak” lagi oleh Megawati, dengan modal kecukupan PPP sebagai kendaraan politik, maju dengan menggandeng Agum Gumelar.

Pilpres 2009 mengulang sejarah dengan nada yang berbeda. Presiden SBY memilih pasangan calonnya seorang teknokrat berpengalaman, Boediono. Sedangkan Wapres Jusuf Kalla meneruskan kampanye yang sudah dimulai sejak pemilu legislatif --menantang berkompetisi dengan slogan lebih cepat lebih baik, berpasangan dengan Wiranto yang diajukan oleh Partai Hanura.

Perbedaan Hamzah Haz dengan Jusuf Kalla hanya dua. Pertama, Hamzah Haz tidak diajak oleh Megawati untuk kembali berpasangan karena sudah menemukan pasangan baru, Hasyim Muzadi, sedangkan Jusuf Kalla tidak berpasangan dengan SBY lewat proses politik yang panjang dan dimulai sejak pemilu legislatif yang sudah mengkampanyekan Jusuf Kalla sebagai calon Presiden. Kedua, Hamzah Haz jarang atau bahkan tidak pernah menyindir atau mengeluarkan statemen yang “berhadapan” dengan Megawati, sedangkan Jusuf Kalla cenderung produktif menantang SBY. Dan itu dimulai dari pilihan slogan dan pembangunan kesan publik secara sistematis. Kompetisinya menjadi lebih terasa.

Itulah realitas politik yang menyertai kompetisi Pilpres. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, dimana pasangan calon bisa diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik, maka pada kompetisi periode berikutnya memang terbuka untuk terjadi persaingan antara Presiden dan Wakil Presiden incumbent. Sama halnya dengan kompetisi di dalam Pilkada. Antara Kepala daerah dengan Wakilnya acapkali harus berkompetisi. Realitas ini adalah wajar semata dalam demokrasi.

Yang penting sejatinya adalah komitmen untuk menjalankan mandat politik dengan penuh tanggungjawab dan sekaligus memberikan pendidikan politik yang baik kepada rakyat. Mandat politik rakyat pada Pilpres tahun 2004 bukan 4,5 tahun, apalagi 4 tahun. Rakyat memilih pasangan SBY-JK untuk bekerja sebagai Presiden dan Wakil Presiden selama 5 tahun. Amanah politik rakyat tidak boleh didiskon. Tidak boleh juga disunat penyelenggaraannya. Itulah komitmen untuk menjaga dan memunaikan kepercayaan rakyat dengan penuh tanggungjawab.

Presiden SBY sejak awal memegang komitmen itu dan menunaikannya dengan penuh kesungguhan. Kegiatan-kegiatan politik mulai intensif dijalankan, dalam posisi sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, sejak pertengahan tahun ke-4 pemerintahannya. Itu pun dilakukan di sela-sela hari libur. Hari kerja didedikasikan penuh untuk menjalankan tugas sebagai Presiden. Bahkan hari libur pun demikian juga : tetap bertugas.

Sikap itu juga dijalankan pada tahun ke-5 sebagai tahun politik dan tahun pemilu. Konsentrasi pada tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik tidak terganggu. Pada saat pemilu legislatif, Presiden hanya memgambil cuti 3 hari untuk menjalankan tugas kampanye dari Partai Demokrat. Demikian halnya dengan suasana politik menjelang Pilpres sekarang. SBY tetap konsentrasi menjalankan tugas-tugas kepresidenan. Tugas sebagai Presiden ditempatkan di atas kerja-kerja politik sebagai calon Presiden.

Sangat elok jika komitmen seperti itu berlaku bagi siapapun yang tengah diberi amanah sebagai pemimpin. Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota adalah pemimpin yang dipilih dengan periode tugas 5 tahun. Bahwa di akhir periode tugas tersebut lazimnya adalah masa-masa berkompetisi kembali (bagi yang menjadi calon), tetapi tugas musti dinomorsatukan. Kesibukan kerja politik sebagai kandidat tidak bisa dijadikan alasan untuk menomorduakan tugas pokoknya sebagai pemimpin dengan kontrak politik 5 tahun. Itulah etika politik yang musti dijunjung tinggi.

Pemerintahan harus tetap jalan. Satu detik pun tidak boleh berhenti. Apalagi hanya dengan alasan keliling-keliling menggalang dukungan dan kampanye. Roda pemerintahan harus terus berputar sepanjang 5 tahun dan berakhir tanggal 20 Oktober yang akan datang. Tugas 5 tahun tidak boleh didiskon. Presiden dan Wakil Presiden terpilih akan menyambut roda pemerintahan peridoe baru pada 20 Oktober 2009 yang akan datang. Setelah itu, yang tidak lagi mendapatkan mandat rakyat, boleh istirahat atau kerja politik apapun juga. Tentu saja dengan tetap menjaga martabat dan kehormatan demokrasi. Wallahu a`lam

No comments: