Saturday, May 23, 2009

NEOLIBERAL vs KERAKYATAN: Perang Kelompok Ekonom di Balik Capres

JAKARTA (Lampost/Dtc/Ant): Sistem ekonomi neoliberal dan kerakyatan menjadi barang dagangan menjelang Pemilihan Presiden 2009. Perang neoliberal dan ekonomi kerakyatan dinilai sebagai ulah para ekonom, bukan capres-cawapres.

Pengamat ekonomi Faisal Basri mengatakan neoliberal vs ekonomi kerakyatan sebenarnya tidak dikembangkan capres-cawapres satu sama lain. Sebab, masing-masing capres-cawapres tidak ada yang menuding lawannya masing-masing. "Ini ulah orang-orang di belakang mereka. Yaitu, ekonom-ekonomnya. Ini the power of econom yang berperang sebenarnya," kata Faisal Basri di Jakarta, Jumat (22-5).

Menurut dia, neoliberal tidak terkenal selama ini. Selama ini yang terkenal mafia Berkeley, yakni julukan sekelompok menteri bidang ekonomi dan keuangan yang menentukan kebijakan ekonomi Indonesia di masa awal pemerintahan Soeharto.

Sebagian besar dari menteri-menteri Soeharto itu adalah lulusan doktor atau master dari University of California at Berkeley pada 1960-an atas bantuan Ford Foundation. "Tetapi, karena Pak Boediono bukan mafia Berkeley, dia kan dari UGM. Yang terkenal mafia Berkeley kan Sri Mulyani. Jadi ada transisi dari mafia Berkeley ke neoliberal. Lagi-lagi ini yang bermain para ekonom. Yang menarik ditelusuri adalah siapa ekonom di balik mereka," lanjut dia.

Untuk itu, Faisal mengusulkan agar debat pilpres tidak hanya untuk capres-cawapres, tetapi juga melibatkan para ekonom di balik mereka.

Sementara itu, Ketua DPP Partai Demokrat bidang politik, Anas Urbaningrum, mengatakan gerakan dan sistem ekonomi neoliberal menjadi alat kampanye politik untuk menyerang pihaknya. "Padahal, calon presiden yang kami usung, yakni Susilo Bambang Yudhoyono, menjalankan kebijakan berbasis Pancasila," kata dia.

Anas juga menyatakan sangat jelas selama ini kebijakan tripple track strategy dijalankan SBY, yakni pertumbuhan, penciptaan lapangan kerja, dan pengentasan kemiskinan. "Kan neolib tidak akan mengenal subsidi, BLT, PNPM Mandiri, KUR, Program Keluarga Harapan, BOS, Raskin, Jamkesmas dan sebagainya," kata Anas.

Ia meyakini semua kebijakan tersebut merupakan intervensi negara untuk membela kalangan miskin, demi keadilan yang tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar.

Anas juga mengingatkan lawan politiknya agar jangan sembarangan menggunakan label neoliberal untuk menyerang. "Sebab, labelisasi neolib atas nama kampanye politik acapkali tunasubstansi dan kehilangan konteks," kata dia. n U-1

No comments: