Friday, April 17, 2009

Pemilih Demokrat Paling Loyal

(sumeks.co.id) JAKARTA - Di antara parpol yang telah mendeklarasikan capresnya, Partai Demokrat, tampaknya, paling sukses memagari pemilih untuk tidak mencontreng capres lain di luar SBY saat pilpres nanti.

Hasil exit poll Lembaga Survei Indonesia (LSI) pimpinan Syaiful Mujani pada 9 April lalu memperlihatkan temuan bahwa persentase split voters di partai berlambang bintang Mercy itu sangat kecil. "Sebanyak 86,3 persen pemilih Demokrat berencana memilih SBY," kata Direktur Riset LSI Kuskrido Ambardi di kantornya, Jalan Lembang Terusan, Menteng, Jakarta Pusat, kemarin (16/4).

Split voters, jelas dia, merupakan kecenderungan inkonsistensi pilihan parpol dan capresnya. Jadi, seorang pemilih mencontreng caleg dari parpol A saat pemilu legislatif. Tapi, capres yang dipilih sewaktu pilpres justru berasal dari partai lain.
Setelah Demokrat dan SBY, tingkat soliditas dukungan selanjutnya dipegang PDIP dan Megawati. Sebanyak 64,9 persen pemilih PDIP dalam pemilu legislatif lalu berencana memilih Megawati di pilpres nanti. "Loyalitas ?banteng? ternyata masih kalah dengan pemilih SBY," cetus Kuskrido.

Setelah itu, menyusul Gerindra dengan Prabowo (55 persen), Golkar dengan Jusuf Kalla (22 persen), dan Partai Hanura dengan Wiranto (9 persen). "Perlu diperhatikan angka ini dari seratus persen pemilih masing-masing partai, bukan dari seratus persen pemilih dalam pemilu," kata Kuskrido mengingatkan.

Yang juga menarik, mayoritas pemilih Golkar (45,1 persen), PKS (65,7 persen), PAN (46,4 persen), PKB (55,3 persen), PPP (53,7 persen), dan Hanura (38,5 persen), justru berencana memilih SBY. Bahkan, dari pemilih PDIP (19,1 persen) dan Gerindra (19,7 persen) juga akan memilih SBY.

"Ceroboh sekali kalau menghitung kekuatan capres hanya dari kekuatan parpol. Sebab, ternyata ada dunia elite dan dunia massa. Jadi, sewaktu elite parpol berkoalisi, pilihan massa tidak harus serta merta sama dengan pilihan elitenya itu," ungkapnya.

Dia menjelaskan, exit poll dilakukan tepat di hari pemungutan suara pemilu legislatif 9 April lalu. Respondennya pemilih yang datang ke TPS (tempat pemungutan suara) untuk memberikan hak suara. Ada 2.100 TPS yang dipilih secara random dan proporsional dari seluruh provinsi.

"Di setiap TPS diambil dua pemilih yang keluar dari TPS sebagai respoden yang diwawancarai," katanya. Tak peduli apa pun jenis kelaminnya, responden pertama dipilih warga yang keluar dari TPS pukul 08.00 waktu setempat. Responden kedua yang keluar dari TPS pukul 10.00.

"Jadi, total respondennya 4.200 orang," kata Kuskrido. Adapun margin of error (MOE) exit poll ini adalah plus-minus 1,7 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen. Exit poll LSI juga meneguhkan kecenderungan semakin sulitnya SBY dikejar penantang lain, seperti Megawati, Prabowo, dan Wiranto. Tak terkecuali, Jusuf Kalla kalau masih nekat maju sebagai capres.

Sewaktu LSI mengajukan 27 alternatif capres yang namanya pernah muncul di media, SBY langsung menyodok di urutan teratas dengan 49,6 persen. Selanjutnya, disusul Megawati (14,1 persen), Prabowo (5,6 persen), Jusuf Kalla (4 persen), Hidayat Nurwahid (2 persen), Wiranto (1,6 persen), dan Sultan (0,2 persen).

"Ini enam nama teratas," kata Kuskrido. Sewaktu LSI menyodorkan enam nama yang kebetulan sama dengan enam nama teratas dari 27 nama itu, SBY masih tertinggi dengan 53 persen. Menyusul Megawati (16,5 persen), Prabowo (9,8 persen), Jusuf Kalla (5,5 persen), Sultan (3 persen), Sultan (3 persen), dan Wiranto (2,2 persen).

Bahkan, sewaktu diadu tiga nama, SBY tetap tak terkalahkan dengan 59,8 persen. Sementara, Megawati mendapat 18,9 persen dan Jusuf Kalla sebesar 7,7 persen. "Sekalipun muncul tiga pasangan, tetap ada peluang pilpres selesai satu putaran," kata Kuskrido.

Ketua DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum menilai temuan LSI itu sejalan dengan realitas split voters yang berkembang dalam pilkada dan pemilu legislatif. Ada calon kepala daerah dari parpol besar, ujar dia, kalah dari calon lain yang didukung parpol kecil. Begitu juga, dalam pemilu legislatif. Perolehan suara parpol di level DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota berbeda-beda.

"Dalam pilpres pun, ketokohan seseorang lebih menentukan ketimbang dia berangkat dari parpol mana," ujar mantan Ketum PB HMI itu. Karena itu, menurut Anas, koalisi di tingkat elite bisa jadi tidak paralel dengan "koalisi pemilih".
"Tapi, inilah kemandirian pemilih yang semakin rasional. Tidak ada lagi parpol atau capres yang berangkat dengan rasa aman," tandasnya. (pri/mk)

No comments: