Tuesday, July 21, 2009

Pos Menteri Pendidikan, Jatah Parpol atau Ormas?

(jawapos.co.id) Salah satu pos menteri strategis adalah menteri pendidikan nasional. SBY harus memilih sosok yang sangat kompeten untuk menempati pos itu dalam kabinet mendatang.

---

Konstitusi secara tegas menyebutkan anggaran pendidikan 20 persen. Bila kita merujuk kepada APBN sekarang yang sekitar Rp 1.000 triliun, maka anggaran pendidikan mencapai angka Rp 200 triliun. Angka ini terbesar jika dibandingkan dengan angka di pos lain seperti infrastruktur, pertahanan, atau kesehatan.

Sosok yang bakal menduduki pos Mendiknas sudah muncul sebelum pilpres. Saat membangun koalisi, PKS yang menjadi mitra utama pernah dikabarkan memasang bargaining untuk mendapatkan posisi menteri yang mengurus masalah pendidikan itu. Permintaan kursi Mendiknas tersebut disebut-sebut terjadi dalam lobi terakhir PKS.

Beberapa nama tokoh PKS seper­ti Irwan Prayitno (ketua Komisi X DPR, yang menangani bidang pen­didikan) dan mantan Presiden PKS Hidayat Nur Wahid pernah disebut-sebut beberapa sumber sebagai sosok yang cocok dengan pos itu.

Ketua DPP PKS Mahfudz Siddiq yang dihubungi kemarin membantah pihaknya telah memberikan tekanan kepada SBY dengan meminta pos Mendiknas. ''Ah, itu hanya spekulasi di luar saja. PKS siap membantu pemerintahan di pos mana pun yang dipercayakan SBY,'' kata Mahfudz.

Menurut dia, sebaiknya jabatan Mendiknas tidak ditradisikan untuk menjadi jatah kelompok sosial tertentu. Dalam tiga kabinet terakhir, Mendiknas selalu dijabat kader Muhammadiyah. Pada era Gus Dur, pos itu ditempati Yahya Muhaimin (dosen UGM/Muhammadiyah). Pada zaman Megawati, Mendiknas dijabat Malik Fadjar, dan pada era SBY ini, Mendiknas dijabat Bambang Soedibyo.

''Setiap jabatan politik berhak diduduki siapa pun selama dia punya kompetensi dan diinginkan presiden,'' kata Mahfudz di Jakarta, kemarin (20/7).

Dalam pandangan Mahfudz, fakta diberikannya posisi Mendiknas kepada kader Muhammadiyah selama sepuluh tahun terakhir ini sekadar ''kebetulan politik'' yang terjadi berulang-ulang.

Fenomena serupa, imbuhnya, muncul di posisi menteri agama yang umumnya dijabat kader NU. ''Semua itu hanya kebetulan politik, bukan desain atau keharusan politik. Tidak ada satu pun hal yang mendasarinya,'' tegas Mahfudz yang juga ketua FPKS di DPR tersebut.

Apakah itu berarti Mendiknas ke depan tidak harus dari kalangan Muhammadiyah? ''Siapa yang nanti mengisi, saya kira, kembali kepada hak prerogatif presiden.''

Pandangan senada juga disampaikan Ketua DPP PPP Lukman Hakim Syaifuddin. Menurut dia, tidak pernah ada tradisi posisi Mendiknas harus diisi kader Muhammadiyah. ''Kalau saya boleh bilang, itu faktor kebetulan saja,'' katanya.

''Kalau diambil dari Muhammadiyah, (itu) bagus-bagus saja. Tapi, tidak harus. Kalau sampai dibakukan, itu sangat tidak sehat. Yang penting profesional,'' imbuh putra mantan Menteri Agama KH Syaifudin Zuhri itu.

Menurut Lukman, praktik politik harus terus diarahkan kepada penguatan sistem presidensial. Termasuk dalam penyusunan kabinet. Kewenangan sepenuhnya berada di tangan presiden. Seorang menteri, yang penting, memiliki kemampuan dan menguasai bidangnya.' 'Soal latar belakangnya dari mana, itu faktor yang kesekian,'' kata Lukman yang juga ketua FPPP di DPR itu.

Dia menambahkan, menteri merupakan jabatan politik, bukan karir. Karena itu, proses rekrutmennya mau tidak mau juga berbasis politik. ''Bukan hanya soal profesionalitas dan kapasitas yang akan ditimbang-timbang, tapi macam-macam,'' jelasnya.

Kabinet Kerja

Ketua DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum mengatakan, SBY igin membangun kabinet kerja, bukan kabinet politik, bukan pula kabinet representasi ormas. Pertimbangan utama tetap pada kecakapan, integritas, dan loyalitas menteri yang akan direkrut.

''Bahwa biasanya Mendiknas dari kalangan Muhammadiyah atau Menteri Agama dari kultur NU, itu juga bukan kebiasaan yang buruk,'' kata Anas di Jakarta kemarin (20/7). Menurut dia, 'wajah masyarakat' biasanya juga menjadi salah satu pertimbangan. Tapi, itu tidak berlaku mutlak.''Nah, apakah yang sudah menjadi mirip tradisi itu terus berlanjut, kami serahkan kepada presiden terpilih,'' ujar mantan ketua umum PB HMI itu.

Anas menyebut SBY pasti memiliki kearifan dan pertimbangan matang untuk memilih para pembantunya. Meski begitu, Anas menambahkan, SBY masih menunggu penghitungan suara KPU sampai penetapan hasil. (pri/tof)

No comments: